Ini sudah mangkuk es krim kedua yang
aku lahap malam itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan
tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya
kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang
hujan deras diluar sana, ada gadis yang masih menikmati es krim sampai mangkuk
kedua, tenang saja pak tua gumam ku dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang
ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.
Hap, sendok demi sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada suatu
titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk
mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati
ini campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim
ini dari mana asalnya, kalo bukan dari dirinya.
***
3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama
Wajahnya yang sedikit pucat dan tirus, rambut nya yang agak panjang, sedikit
berantakan, dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang
rasa es krim yang barusan aku cicipi.
“Gimana?” tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat ekspresiku yang
mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim yang kumakan.
“Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius mendikripsikan
Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan
lagaku seperti tester sejati.
“Enaak !!” Seru ku.
Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang
menipu. Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang dijewernya.
Ya, Dialah Keylan. Key dan Aku pertama kali bertemu di laboratorium praktikum
kimia dasar, Dia yang mengembalikan modul praktikumku yang tertinggal di
laboratorium. Disitulah kami berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus,
usianya terpaut dua tahun lebih tua dari umurku.
Key mengambil cuti selama satu tahun di awal perkuliahan oleh sebab itu ia
sering meminjam buku catatanku untuk mengejar ketinggalannya. Sebagai imbalan
nya Key sering mentaktirku es krim. Berawal dari sebuah catatan dan secorong es
krim di kantin kampus-lah pertemanan kami semakin akrab.
Key dan aku adalah sosok manusia yang mempunyai hobi yang bisa dibilang
terbalik, Key adalah cowok dengan hobi membuat cake atau makanan manis.
Sedangkan aku adalah cewek dengan hobi nonton sepak bola dan nonton serial
kartun Kapten Tsubatsa. Terbalik bukan?
Mr. ice cream adalah panggilanku untuknya. Cowok berbadan kurus dan tinggi ini
bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang tak bisa di
pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin mempunyai usaha di bidang kuliner itu,
Key mengambil Cooking Class khusus membuat pastry. Key termasuk golongan cowok
yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang Key tidak bisa ditebak serta penuh
kejutan.
Sore itu, Key dengan sengaja menculikku dari kampus, Key mengajakku berkunjung
ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial belanda. dan
aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun
terlihat seperti di museum–mesueum sejarah, seperti meja kasir dan pintu yang
sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang berpelitur, mesin kasir nya pun antik
dengan type model tua, disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih
hangat terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan kue yang
sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang muda, semua tua.
Key bercerita sambil menerawang kearah langit-langit, kalo dia sering makan es
krim disini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya
terhadap tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan dirinya suka sekali
makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa makanan yang manis itu bisa
mengobati patah hati dan bad mood.
Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan mendengarkannya dengan
setia karena antusias dengan apa yang ia lakukaan atau ia ceritakan.
“Semua orang hampir menyukai es krim bukan?” dia menatap ku lagi. Sialnya aku
tertangkap mata karena menatapnya lamat-lamat, aku memalingkan wajah dan
menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan ku jejali roti itu dengan
es krim tutti fruiti-ku.
“Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti” protes nya sambil tertawa
kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim.
“ini Enaaak, coba deh Key” sambil menyodorkan roti isi eskrim kepadanya sebagai
upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Key lantas mencoba mengunyahnya
dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda setuju kalo itu kombinasi yang enak.
“yeee, enak kan, sekarang Key ketularan rakus” aku tertawa puas. Dan key
menjewer pipiku lagi. Kami pun kembali tertawa riang.
Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Key seolah pasangan
kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami
tidak pacaran, tepatnya key punya pacar. Key berpacaran dengan Amerina.
Mengenai Key dan Amerina aku tak tahu banyak karena Key jarang sekali bercerita
tentang hubungan mereka, setahuku mereka menjalin pertemanan semenjak mereka
duduk di bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran, Amerina adalah
gadis cantik, anggun, smart dan terlihat kalem, menurutku Amerina seperti Key
versi cewek. Hanya itu yang ku tahu.
“Pulang yuk ran, nanti ketinggalan jadwal nonton Tsubatsa ” ajak Key kepadaku
sekaligus mengingatkan.
“Iya, hampir lupa..ayook” jawabku sambil beranjak dari kursi. Mengikuti
punggung Key yang sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan kedai itu.
***
2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama.
Key tersenyum simpul penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja
abu-abu bermotif kotak-kotaknya kali ini rambutnya terikat rapih.
“Ta daaaa, Happy Birth Day” Key menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku tak
menyangka. Sebuah surprise !!
Malam itu di hari ke lima belas di bulan September, Key membuatkanku kue ulang
tahun dengan motif bola dengan dominasi warna biru dan putih, seperti warna
club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan “Happy Birth Day Rana” diatas
kepingan cokelat putih yang membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin
dengan angka kembar dua-puluh-dua.
“Jangan lupa berdoa dan make wish ya” Key tersenyum Simpul lagi.
Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua detik membuat
permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan Key
dan es Krim tentunya.
“Rio, belum telepon juga?” Key bertanya singkat.
Rio? Kenapa Key nanya Rio lagi sih?. Aku hanya menggeleng. Singkat cerita, Rio
adalah pacarku. tepatnya seminggu yang lalu, jadi sekarang dia sudah menyandang
gelar mantan pacar. Rio dan Aku bertahan pacaran hanya lima bulan saja. Kami
menjalani hubungan LDR alias Long Damn Realtionship, atau pacaran jarak jauh,
Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai terasa tidak lancar. Ditambah Rio yang
tidak pernah suka dengan hobiku yang menyukai sepak bola. Terkadang itu menjadi
bahan pertengkararan kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara
baik-baik. Tak ada yang harus di pertahankan.
“Sudah, jangan sedih. Mungkin dia sibuk” ujarnya seraya menghiburku.
Puh, tak ada telepon pun tak masalah bagiku, lalu ku hanya diam dan menikmati
es krim dan kuenya lagi.
“yang penting…” Ujar Key. Hening sejenak. Aku menunggu Key melanjutkan
kalimatnya. “ Ayah dan Adik, sudah telepon” lanjutnya sambil tersenyum.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat lalu membalas senyumannya “Tentu saja,
itu yang penting” timpalku kepadanya. Kamu juga penting Key.
Key selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman yang selalu ada
untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada
orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat perayaan spesial seperti ini
khusus untukku hanya seorang teman seperti Key yang melakukannya. Teman? Lalu
bagaimana dengan Amerina? Apakah dia melakukan hal yang sama kepadanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu
detail bagaimana Key memperlakukan Amerina? Bukan kah sebelumnya aku tak pernah
peduli?
“Barusan make a wish apa?” Pertanyaan Key membangunkan ku dari lamunan akibat
pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari kepalaku.
“Rahasia” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
“Pelit” Key pura-pura ngambek.
“Anyway Key, thank a lot, you’re my best” Aku tersenyum. aku bahagia malam ini.
“Any time, Ran” balas Key. Tersenyum simpul.
Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk dihadapanku
seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool, dalam senyumnya terasa
manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang membuatku menyadari sesuatu
itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan
rumus matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu
tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak.
***
Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi, menadakan
besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan
gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma tanah yang menyaingi
aroma roti yang baru keluar dari pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah
sedikitpun, semua interiornya tetap tua di makan usia.
Dua jam yang lalu, aku dan Key duduk bersama di kedai ini, wajahnya sudah tak
sepucat dan setirus dulu, rambut nya pun tak seberantakan dan sepanjang satu
tahun yang lalu, Key terlihat baik-baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun
senyum didalam air muka Key, Dia bersikap dingin, sedingin es krim di mangkuk
dan cuaca di luar sana.
“Kenapa gak ada kabar ran?” Key menatapku serius. Nada suaranya dingin.
Aku tak sanggup memandang key, hanya tertunduk dan diam, lidah ini kelu untuk
berucap memberi alasan yang sebenarnya.
“Aku sibuk Key” Aku berbohong. “Maaf Key, aku memang keterlaluan” ucapku sekali
lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
Setelah mendengar kata maaf itu Key langsung mehenyakan punggungnya kesandaran
kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat yang
hanya pamitan lewat sms dan setahun kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti
menghilang di telan bumi. Aku tahu Key pasti marah hebat kepadaku, tapi
semenjak perasaan ini makin menguasai, persahabatanku dengan Key terasa bias,
tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan
kepura-puraanku di depan Key yang selalu bersikap baik kepadaku. Karena dengan
sikap Key yang seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri
pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini akan
terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit
dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar kota itu
datang aku tak menyiakan nya.
“Tapi kau baik-baik saja kan?” Ucap nya tenang.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku tak boleh
menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin cemas. Mulutku kembali
terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu
perasaan Key sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun Key selalu baik
dan memaafkanku yang bertindak bodoh.
“Lalu bagaimana denganmu Key?” ucapku terbata.
Key tak menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat aneh dan
membingungkan bagi Key sehingga membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya
sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini. Namun
Key menyerah, dia menghenyakan kembali punggungnya kesandaran kursi. Sedikit
demi sedikit suasana diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini
pun mencair.
***
Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang menumpahkan
kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Key. Scene
potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar, kini aku mengembalikan
fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas meja, benda yg sedikit tebal
dari kertas, berwarna merah, pemberian Key dua jam yang lalu.
Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan entahlah lah
sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai
teman ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang sedang tertimpa
perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku. Lalu dimana aku harus menempatkan
diriku sendiri?
Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk
mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat
pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Key kepadaku, dia
selalu ada untukku, melindungiku, menyangiku sebagai sahabatnya. Aku-lah yang
terlalu egois, tak mau ambil tindakan serta resiko untuk menyatakan nya dan
malah pergi menghilang darinya yang hanya membuat Key terluka.
Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas menyatakan
kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu, menuju meja
kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum megucapkan
terimakasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih campur aduk
dan terasa sesak.
Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Statsiun hendak meninggalkan
kota ini, dan aku berjanji, minggu depan aku kan datang lagi ke kota ini,
menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Key dan Amerina. aku
akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan bodoh, bahwasanya
sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu melupakan orang yang kita
sayangi, yang membantu hanyalah sikap menerima kenyataan.
Biarlah aku menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Key, dan waktu yang
akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit ini hanya bersifat sementara,
Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?